Sabtu, 18 Juli 2009

Kegemaran Pembantu

Ceritaku kali ini sebenarnya hanya untuk mengingatkan kejadian lucu yang pernah kualami di rumah tanggaku. Aku dengan 2 anak yang sudah bersekolah di kelas 5 SD dan kelas 3. Untuk meringankan beban tugas rumah tangga istriku mengambil pembantu yang dia dapat dari teman sekantornya. Seorang gadis Jawa, umurnya kira-kira 17 tahun dan tidak tamat SMP.
Aku pada mulanya tidak terlalu menaruh perhatian pada Tini pembantuku, karena tidak ada yang istimewa, kecuali buah dadanya yang kelihatan terlalu besar untuk badannya yang kelihatanya cenderung kurus. Semua instruksi rumah tangga dilakukan oleh istriku, sehingga aku jarang berkomunikasi dengan Tini.
Aku secara tidak sengaja seperti menjaga jarak dengan Tini. Pertama agar istriku tidak timbul rasa curiganya dan kedua kelihatannya dia sangat segan denganku.

Dia sudah lebih dari setahun bekerja di tempatku. Semula aku sangka dia tidak akan balik setelah cuti lebaran. Biasanya pembantu selalu begitu, tetapi dia memilih kembali bekerja di tempatku. Kami memang memiliki kamar khusus pembantu di belakang rumah. Ceritanya ketika pembantuku pulang cuti lebaran, setelah seminggu dia belum juga kembali. Istriku memintaku untuk memeriksa apakah di kamarnya masih ada pakaian yang dia tinggal. Sebab jika tidak ada pakaian yang ditinggal berarti dia sudah bermaksud tidak akan kembali. Kuperiksa lemarinya, terlihat masih banyak pakaiannya. Aku lalu iseng memeriksa seluruh isi lemarinya.
Agak mengejutkan ketika di bawah lipatan baju-baru dan agak tersembunyi di belakang aku menemukan buku-buku porno koleksiku. Aku memang agak sembrono menyimpan koleksi. Sebagian kutaruh di dalam lemari bajuku bagian belakang, dan sebagian lagi kusimpan dalam koper di atas lemari. Begitu banyaknya koleksiku sehingga aku kurang memperhatikan jika ada yang lenyap. Aku setiap kali bepergian ke Eropa, Jepang dan Amerika selalu membeli buku-buku untuk koleksi.
Aku jadi penasaran memeriksa kamar pembantuku. Di bawah kasurnya, kutemukan beberapa buku porno lagi. Sekitar 10 buku dan majalah porno ternyata berpindah tempat ke kamar pembantuku.
Aku sama sekali tidak menyangka, pembantu yang lugu itu ternyata menggemari koleksi majalah porno. Kalau dilihat dari penampilan, sama sekali tidak akan menyangka jika dia menyukai gambar-gambar sex.
Penemuan itu tidak kuceritakan kepada istriku. Aku khawatir jika kelak pembantuku balik, akan dimarahi, atau malah disuruh berhenti.
Si Tini datang dari kampung setelah 2 minggu lebaran. Dia beralasan orang tuanya sakit, sehingga minta ditunggui.
Sekembalinya bekerja, aku merubah sikapku. Aku mulai sering berkomunikasi dengan Tini, mulai dengan menyuruhnya menyemir sepatu, menyeterika baju yang akan kupakai. Banyak hal yang menyebabkan komunikasiku dengan Tini menjadi lebih intensif. Pada awalnya dia rada canggung melayaniku, tetapi lama-lama dia menjadi biasa dan tidak canggung lagi.
Ada maksud dibalik strategiku lebih akrab dengan Tini. Aku tentu saja penasaran, kenapa dia menyenangi gambar-gambar porno. Padahal setahuku, umumnya cewek kurang suka melihat majalah porno, termasuk istriku. Wajar sih rasanya, karena gambar porno itu hampir seluruhnya membedah rahasia wanita. Beberapa memang ada juga gambar adegan sex antara pria dan wanita.
Aku mulai bisa mencandai Tini, dan dia pun mulai berani merespon candaanku. Aku tidak terlalu dekat juga sih meski sudah ada candaan yang dilontarkan. Dia tetap segan dan aku tetap berusaha menjaga jarak.
Aku dan istriku tidak selalu berangkat kerja bersamaan. Dia sering berangkat duluan, kadang-kadang bersama temannya yang rumahnya tidak jauh dari kompleks perumahanku. Aku memang agak bebas dalam hal jam kantor. Yang penting jam 4 sore aku sudah muncul di kantor dan pulang dari kantor bisa jam 12 malam, tapi bisa juga jam 6 sore. Semua tergantung dari order yang kukerjakan, dan juga gerak hatiku. Sebab sering kerjaan sudah beres jam 7 malam, tapi aku masih berkutat di kantor sampai jam 12 malam, hanya untuk ngobrol dan main komputer. Kadang-kadang malah ke kafe bersama teman sekantor untuk sekedar ganti suasana.
Pada suatu saat yang tepat, setelah istriku berangkat ke kantor dan semua anakku sudah di sekolah. Sementara aku menikmati sarapan nasi goreng yang memang kusuruh si Tini membuatnya , aku memanggilnya. Dia kusuruh duduk di kursi seberang meja makan. Tini kelihatannya bingung. Dia ragu-ragu untuk duduk di situ, sampai akhirnya dia duduk juga. Situasi seperti ini memang belum pernah terjadi. Dia selalu makan di dapur atau dikamarnya.
Setelah duduk aku langsung ke pokok persoalan.
“Tini kamu senang melihat majalah bergambar orang-orang telanjang, di kamarmu aku temukan banyak majalahku kamu simpan di sana ? “ tanyaku.
Tini terperanjat dan mukanya langsung memerah. Aku memahami, dia pasti merasakan malu, takut dan bercampur-campur rasa bimbang dan rikuh.
“Aku nggak apa-apa, dan juga nggak marah, kamu boleh-boleh saja kalau mau melihat majalah yang seperti itu, asal jangan sampai hilang, sebab aku belinya jauh dan di sini nggak ada yang jual,” kataku.
Dia masih terdiam, tetapi mulai sedikit berani mengangkat muka memperhatikan sikapku.
Kata-kata yang kuucapkan sama sakali jauh dari nada marah. Ini memang kusetel agar dia tidak grogi.
“Cuma aku ingatkan jangan sampai ibu tau,” kataku.
“Iya pak maaf,” katanya singkat.
“Aku malah senang jika kamu juga suka melihat majalah seperti itu, nanti aku akan pinjami kamu koleksi yang lain yang ada di koper. Kalau majalah yang kamu simpan sudah selesai kamu lihat bawa kesini, tapi kalau masih ada yang ingin dilhat lagi ya simpan aja dulu, nanti saya pinjami kamu majalah yang lainnya.” kataku.
“Ya udah sana,” kataku menyudahi pembicaraan.
Tini lalu bergegas ke belakang, dan tak lama kemudian dia membawa semua majalah yang dia simpan dan diserahkan kepadaku. Rasa malunya terlihat masih ada, sehingga dia menyerahkan sambil menunduk. Kuterima majalah itu dan aku masuk ke kamar. Aku simpan ke dalam koper dan kuambil majalah-majalah yang memperlihatkan adegan sex. Sekitar 10 majalah kuambil dan keberikan ke Tini. Mulanya dia menolak untuk menerima, tapi kupaksa dan kuyakinkan bahwa aku nggak apa-apa. Akhirnya majalah itu diterimanya juga dan dibawa masuk ke kamarnya.
Begitulah berulang-ulang sampai dia sendiri akhirnya berani buka pembicaraan mengenai isi majalah yang aku sodorkan. “ Pak orang bule kok nggak malu ya, difoto lagi gituan,” katanya.
“Disana bayarannya mahal, dan di luar negeri kayak gitu udah biasa,” kataku.
“Kamu di kampung udah punya pacar,” tanyaku.
“Belum pak, “ katanya polos.
“Jadi kamu belum pernah lihat punya laki-laki seperti apa,” tanyaku.
“Ya paling-paling adikku yang kecil, kalau aku disuruh emak mandiin,” katanya polos.
“Apa kamu nggak penasaran pengin lihat laki-laki punya yang udah besar,” tanyaku.
“Abis mau liat sapa punya pak, aku kan belum pernah pacaran pak,” katanya polos.
“Bener kamu belum pernah liat, pengin nggak liat yang asli,” pancingku.
“ Belum pak, ya kadang-kadang penasaran juga sih pak,” katanya polos dan mulai masuk ke dalam perangkapku.
Pembicaraan kami itu, tentunya setelah istriku berangkat kerja dan anak-anak berangkat ke sekolah.
Aku sudah terangsang berat setelah mengetahui Tini masuk ke dalam perangkapku. Aku pagi itu masih memakai celana boxer dan kaus oblong.
“kamu boleh liat bapak punya kalau kamu mau,” kata ku
“Ah bapak, saya malu ah pak,” katanya.
Aku lalu menarik tangannya dan menggiring ke ruang tamu. Dia menurut saja sambil menutup mulutnya.
“Kamu duduk di karpet,” kataku.
Tini menuruti kemauanku dan aku mencopot celanaku dan duduk di sofa di hadapannya. Penisku yang tegak mengacung lalu kupertontonkan ke Tini.
“Ih Bapak, Tini malu ah, “ katanya sambil berusaha membuang muka, tapi agak melirik juga, mungkin rasa ingin tahunya yang mendorong dia curi-curi pandang.
“Udah liat aja biar nggak penasaran, dari pada liat gambarnya kan lebih jelas liat yang asli kataku terus membujuk,” kataku.
Tini baru berani mengangkat mukanya melihat kemaluanku yang sedang menegang.
“Tapi yang digambar itu kelihatannya lebih besar ya pak,” katanya
“Ya iyalah orang bule dan orang negro badannya kan besar, kalau tititnya kecil kan nggak seimbang,” kataku.
“Kalau kamu pengin pegang, pegang aja,” rayuku.
“Ah enggak ah pak saya malu,” tukasnya.
“Enggak apa-apa kan sudah aku ijinkan , “ kataku sambil meraih tangannya dan kutuntun ke penisku yang sudah mengeras.
Dengan ragu-ragu dipegangnya dengan hanya menggunakan jempol, dan jari telunjuk.
“Genggam, “ kataku sambil membawa tengannya agar menggenggam rudalku.
“ Ih kok keras ya pak,” katanya sambil menggenggam.
Aku lalu menginstruksikan agar sedikit dikocok.
“Aduh enak banget Tin ,“ kataku sambil menjatuhkan badanku ke sandaran.
“Enak gimana sih pak, bukannya sakit pak,” katanya dengan polos.
Otakku sudah keracunan jadi menginginkan lebih dari itu.
“Tin kamu liat engga cewek di gambar yang melomot titit,” tanyaku sambil mendesis keenakan.
“Iya pak apa ngga jijik sih, buat kencing kok malah dilomoti,” tanyanya dengan muka bodoh.
“ Itu untuk memuaskan pasangan, karena laki-laki suka anunya dilomoti,” kataku.
Aku menganjurkan dia mencoba mengoral barangku. Tapi dia menolak, karena katanya jijik.
“Ya udah kalau nggak mau melomot, coba kamu ciumi saja, aku pingin yang lebih enak,” pintaku.
Mungkin Tini sudah terangsang juga sehingga pertimbangannya jadi kurang waras. Dia mulai menciumi batangku yang mengeras. Aku mengarahkan agar dia juga menciumi kantong zakarku. Aku serasa terbang ke langit merasakan nikmatnya diciumi begini.
“Ayo lomot ujungnya Tin, rasanya enak banget,”
Tini agak ragu mulai mengecup ujung penisku. Dia agak kaku melakukannya. Kepalanya aku pegang dan aku tekan agar barangku masuk lebih banyak. Terasa giginya menggerus batangku yang mengakibatkan rasa ngilu. Dia kuajari agar menjaga giginya tidak menyentuh kulitku. Pelajaran itu dipahaminya karena kemudian dia mulai mahir mengoral maju mundur barangku sesuai dengan arahan tanganku yang menuntun gerakan kepalanya.
“Pak saya nggak bisa nafas pak,” katanya lalu melepas kuluman di batangku.
Beberapa saat istirahat, lalu dia kembali mengulum. Aku mintanya agar dia juga menghisap kuat-kuat. Aku seperti kesedot, ketika dia mulai menghisap. Kulumannya makin nikmat dengan variasi sedotan.
Menjelang aku muncrat ku tarik mulutnya menjauh dan kubekap ujung penisku lalu muncratlah cairan kental dari ujung penisku. Sebelum dia sempat bertanya kusuruh dia cepat-cepat mengambil tissu.
Selamatlah semua cairan spermaku tertampung ditissu.
”Apaan sih pak kok kayaknya kentel gitu,” tanyanya bodoh.
“Itu namanya mani, kalau nikmatnya sudah memuncak semua laki-laki bakal menyemprotkan mani,” kataku.
Tini lalu mengamati barangku dengan seksama yang perlahan-lahan mulai menyusut.
“Pak kok kelihatannya jadi lemas gitu,” tanya.
“ Ya kalau sudah nyemprot dia akan lemes,” kataku.
Dia masih penasaran lalu ditekan-tekannya penisku yang mulai melembek.
“Ih jadi empuk pak,” katanya.
“Nah kamu kan sudah liat Bapak punya, sekarang gantian Bapak liat kamu punya,” kataku menagih.
“Ah enggak ah pak saya malu,” katanya sambil membekap kedua tangannya ke dadanya.
Aku tarik tangannya untuk kuajak duduk disampingku. Dia meski agak kaku tapi menuruti juga tarikan tanganku. Setelah terduduk disampingku aku lalu menciumi lehernya, pipinya lalu telinganya. Kujilati lehernya.
Nafasnya terasa semakin cepat dan terdengar agak mendengus. Tanganku mulai meraba susunya dan meremasnya halus. Tangan Tini berusaha mencegah tanganku meremas susunya, tetapi dia tidak terlalu keras mencegahnya sehingga aku masih bisa meremas dadanya kiri dan kanan. Dia mulai membiarkan tanganku meremas dadanya, dan nafasnya sudah makin memburu. Tanganku mulai menyusup kebawah kausnya dan mencapai kutangnya. Dia agak terkejut dan terlambat menyadari tanganku sudah menangkup di kutangnya. “ Pak jangan pak,” katanya, tapi nadanya seperti orang hampir kehabisan nafas.
Aku tidak memperdulikan, karena toh tangannya tidak sungguh-sungguh mencegah rambahan tanganku. Puas meremas dari balik kutang aku mencari pengait BH nya di bagian punggung. Dengan sekali tekan lepaslah pengait BH itu.
Aku lalu lebih leluasa meremas teteknya yang kenyal dan rasanya tanganku kurang mampu menangkup ke buah dadanya. Pentilnya terasa kecil dan mengeras. Kupilin-pilin dan kuusap. Tini tidak lagi melarang, tetapi dia mulai mendesis. “ Sssshhh aduh pak,”
Tini terlihat sudah sangat terangsang.. Kuangkat kaus oblong untuk melepas dari badannya. Dia menurut saja malah seperti memberi ruang untuk mempermudah kaus nya terlepas.
Buah dadanya sungguh indah, bengkak dan gemuk dengan puting yang masih kecil. Tanpa menunggu lama, aku langsung nyosor ke menjilat dan mengisap pentilnya yang besarnya mungkin baru sebesar kacang kedele.
Tini makin mendesah-desah. Tanganku mulai merayap kebawah langsung menuju selangkangannya. Antara sadar dan melayang dia menangkap tanganku yang sudah menemukan gundukan dibalik celananya. “ Pak jangan pak Tini malu,” katanya.
Aku tidak memperdulikan dan tanganku terus merayap ke atas mencari celah celananya dari atas. Tanganku berhasil masuk ke balik celana dalamnya dan langsung meluncur ke bawah.
Memek Tini terasa tidak berbulu dan gemuk. Pantas aja dia malu, mungkin karena memeknya belum berbulu. Kelihaian jariku langsung bisa masuk kebelahan memeknya dan menemukan tonjolan kecil yang agak kaku dibelahan atas memeknya. Clitorisnya mencuat. Aku memainkan clitorisnya dan Tini semakin mendesah-desah dan mengerang halus. Memeknya agak basah, sehingga sesekali aku mengambil cairan memeknya untuk membantu melicinkan usapanku ke clitorisnya.
Aku terus memainkan clitorisnya sampai kemudian dia memelukkan keras dan mengerang, “ Aduh pak aduuuuuh aaaaahhh”
Lubang vaginanya berdenyut-denyut menandakan dia mencapai orgasme.
Rasa segan kepada majikannya dia lupakan dan dia memelukku keras sekali sampai denyutannya berhenti.
“Gimana rasa Tin,” tanyaku.
“Enak banget pak, diapain saya tadi sih pak,” katanya dengan nada manja.
‘Itulah rasa enak yang aku rasakan waktu tadi maniku muncrat, sama seperti yang kamu rasa barusan,” kataku.
Tini kurebahkan ke sandaran sofa dan kakinya menjuntai ke lantai. Aku lalu memelorotkan rok dan celana dalamnya sekaligus. “ Pak jangan pak Tini malu,” katanya.
Tapi aku terus berusaha melepaskan, dan ternyata dia tidak menghalanginya serius.
Tini terlentang bugil di sofa ku. Susunya yang gemuk berpadu dengan memeknya yang mentul tetapi masih nyaris gundul. Bulu di kemaluannya masih sangat halus dan hanya ada di bagian atas gundukannya.
Aku kembali meremas-remas kemaluannya, karena rasanya gemes melihat gundukan cembung di kemaluan Tini yang gundul. Dia sudah pasrah, dan lupa pada rasa malu. Kucolokkan sedikit jariku ke belahan memeknya yang sudah basah lalu kucium. Baunya agak amis khas bau kemaluan wanita. Kutarik dia agar berdiri dan kupapah menuju kamar mandi. Tini menurut saja. Sesampai di kamar mandi aku siram kemaluannya dan kusabuni sampai bersih. “ Pak perih pak sabunnya masuk kedalam,”
Tini lalu membersihkan sendiri memeknya. Setelah itu aku lap kering dan kutuntun dia masuk ke kamarku.
Tini ku telentangkan di tempat tidur. Dia pasrah saja, tidak ada penolakan lagi. Aku kembali menciumi leher dan kedua putingnya. Nafasnya mulai memburu lagi dan pelan-pelan aku turun menciumi perutnya. Kedua kakinya kurenggangkan dan aku lalu menciumi bukit kemaluannya. Kepalaku ditahannya, “Pak jangan pak jijik pak,” katanya.
Aku tidak menghiraukan kecuali lidahku mulai menjulur dan menjilati seputar bukit pubisnya. Aku lalu turun dan lidahku mulai menjilati bibir memeknya. Dengan kedua tanganku ku kuak memeknya lalu mulutku kubenamkan ke bagian atas belahan memeknya. Lidahku dengan mudah menemukan clitorisnya. Tini menggelinjang ketika lidahku mencapi ujung clitorisnya. “ Geli pak aku nggak tahan,” katanya sambil berusaha menarik kepalaku menjauh dari memeknya.
Tapi aku terus bertahan dan lidahku beralih menyapu pinggir clitorisnya. Dia tidak lagi menarik kepalaku, tetapi menggelinjang-gelinjang seirama dengan gerak lidahku.
Sesekali aku sapu ujung clitnya dan dia menggelinjang kuat, tetapi tidak lagi mengeluh geli. Aku kemudian memusatkan jilatanku ke clitorisnya. Tini seperti menangis dan merintih merasakan kenikmatan clitorisnya di sapu oleh lidahku. Aku mengoral sekitar 5 menit sampai kemudian dia mencapai orgasme kembali dan menjepitkan kedua kakinya kekepalaku dan menekan kepalaku ke arah memeknya. Memeknya berdenyut-denyut.
Memeknya banjir oleh cairan vagina bercampur dengan ari ludahku.
Untungnya aku sudah melapisi handuk sehingga tidak mengenai sprei. Penisku menegang kembali. Tini sudah pasrah dan mungkin dia lupa tugasnya membersihkan rumahku. Dia tidur terletentang. Aku duduk bersimpuh diantara kedua rengganan kakinya. Penisku kusap-usapkan ke belahan memeknya, sambil kutekan-tekan ke liang vaginanya. Kepala penisnya sudah bisa masuk sedikit, namun karena posisiku duduk bersimpuh aku tidak bisa menekannya lebih jauh. Aku lalu berganti posisi telungkup menindihnya.
Penisku kembali aku cocokkan dengan lubang vaginanya sampai pada posisi yang tepat. Dengan gerakan hati-hati kutekan ujung penis masuk ke belahan vagina. “ Aduh pak sakit pak,” katanya.
Aku menenangkan sebentar, sambil mempertahankan posisi ujung penisku yang sudah agak terbenam. Dengan gerakan halus kutekan lagi. Tini kembali mengeluh sakit, tetapi penisku sudah lebih tenggelam, meski baru kepalanya saja. Aku mengontraksikan penisku. Pengerasan penisku sambil sedikit bertahan membuat dia lebih maju menerobos. Aku melakukan gerakan itu berulang-ulang sampai seluruh kepala penisku tenggelam. Ketika kudorong terasa ada penghalang. Kuyakin bahwa aku sudah membentur selaput perawannya. Aku lalu melakukan gerakan maju mundur sampai gerakan itu lancar, meskipun gerakan jarak pendek. Sampai batas penghalang selaput perawan aku lalu berhenti maju mundur. Dengan agak menekan sedikit sambil menegangkan penisku, terasa ada kemajuan, aku tekan lagi dan menegang lagi bisa maju lagi dan terasa ada yang terterobos. Aku berhasil menerobos selaput daranya. Tini mengernyit sambil mengeluh sakit. Lalu kutarik sedikit dan kudorong lagi lebih dalam pelan-pelan. Penisku bisa lebih terhunjam. Aku terus melakukan gerakan maju mundur dengan sekali-kali maju lebih jauh , sampai akhirnya semua penisku terbenam.
Jepitan memeknya ketat sekali sehingga batangku terasa agak ngilu, terutama di leher kepala topi baja. Gerakan maju mundur makin lancar dan Tini kelihatannya tidak kesakitan lagi seperti tadi. Tapi dia masih mengernyit-ngernyit mungkin masih ada rasa sedikit sakit.
Aku sudah leluasa memompanya sampai akhirnya aku merasa mau meledak dan buru buru kutarik dari lubang vaginanya dan kusemburkan diatas perutnya. Batangku terlihat agat tersaput dengan darah meski hanya sedikit. Aku lalu rebah disamping Tini.
“Gimana rasanya Tin,” tanyaku.
“Sakit pak enakan yang dijilat tadi,” katanya terus terang.
“Ya untuk yang pertama emang sakit, tetapi seterusnya malah enak.
Aku membimbing Tini, kamar mandi untuk bersih-bersih. Dia merasa memeknya perih ketika cebok.
Sejak saat itu aku jadi sering menyetubuhi Tini dan menjaga agar mani tidak sampai masuk ke vaginanya. Kadang-kadang aku mengenakan kondom juga. Kami bisa bersikap wajar jika ada istriku, Tetapi setelah rumah kosong kami jadi liar dan bertindih-tindihan.
Aku lama-lama merasa tidak aman juga, karena bagaimana pun keakraban Tini bisa-bisa tanpa dia sadari akan terlihat oleh istriku. Aku lalu mempekerjakan Tini sebagai cleaning service di kantorku tanpa sepengetahuan istriku. Dia berpura-pura pamit berhenti bekerja karena dipanggil orang tuanya di kampung.
Sebagai pekerja cleaning service, dia mendapat gaji lebih besar, apalagi kutambah uang bulanan sebesar gajinya plus biaya indekos. Kucarikan tempat indekos yang bisa bebas, sehingga aku sering menginap di tempatnya dan beralasan pada istriku tugas keluar kota.
Aku tidak perlu lagi memasang kondom, karena aku diam-diam mensterilkan diri ke dokter.
Meskipun aku sering mengakrabi Tini, tetapi dia kudorong untuk mencari pacar. Dia berkali-kali dapat pacar, tetapi lalu putus entah karena apa. Semua pacarnya tidak diperbolehkannya mengetahui tempat kost Tini. Itu memang perjanjian kami. Aku memperbolehkannya Tini melakukan hubungan dengan pacar-pacarnya, tetapi harus dilakukan di luar tempat kost.
Hubunganku berlangsung cukup lama mungkin sekitar 8 tahun sampai akhirnya Tini menemukan jodoh. Dia dipersunting oleh lurah di kampungnya. Setelah itu aku tidak pernah dengar lagi kabar Si Tini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

janga lupa komentNya